BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak
kasus bayi kembar siam, bayi dengan usus terburai atau tanpa tempurung kepala
merupakan kasus kelainan bayi akibat tidak sempurnanya pembentukan organ
sewaktu janin masih dalam kandungan ibu. Faktornya sangat kompleks mulai dari
kekurangan gizi, kelainan genetik, faktor dari ibu maupun janin itu sendiri.
Namun kelainan-kelainan pada bayi biasanya terlambat untuk diketahui. Bahkan
meski sudah dilakukan pemeriksaan USG secara rutin, kelainan yang dialami janin
masih saja ada yang tidak terdeteksi. Kini sudah ada teknologi untuk mengetahui
kelainan bayi sejak dini bahkan ketika organ bayi belum terbentuk. Nama
teknologi tersebut adalah pemeriksaan prenatal diagnosis terintegrasi
dimana nama pemeriksaannya di sebut Amniocentesis atau pemeriksaan air ketuban
untuk mengetahui kelainan kromosom pada janin. Pemeriksaan tersebut bisa
dilakukan pada umur kandungan 12-14 minggu dimana pada waktu ini organ
bayi bahkan belum terbentuk. Dengan pemeriksaan air ketuban ini, para ibu
bisa mengetahui lebih awal apakah janinnya mengalami kelainan atau tidak.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan amniosentesis?
2. Bagaimana
amniosintesis dini?
3. Bagaimana
amniosintesis kedua?
4. Apakah
tujuan dari melakukan amniosentesis?
5. Bagaimana
prosedur melakukan anmiosentesis?
6. Bagaimana
hasil test amniosintesis?
7. Apa
sajakah resiko dari amniosentesis?
C. Tujuan
1. Mengetahui
pengertian amniosentesis.
2. Memahami
pengertian dari amniosintesis dini.
3. Mengerti
pengertian dari amniosintesis kedua.
4. Mengetahui
tujuan dilakukannya amniosentesis.
5. Mengetahui
prosedur amniosentesis.
6. Mengetahui
hasil test amniosintesis.
7. Mengetahui resiko dari amniosentesis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Amniosintesis
Amniosintesis
adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas kromosom,
penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis ini
adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Di US biasa dilakukan amniosintesis dini,
yaitu pada usia kehamilan 10-14 minggu. Namun, karena potensial tinggi untuk
menjadi PROM (Prematur Ruptur Of Membran), infeksi dan pendarahan, sehingga
amniosintesis jarang dilakukan pada usia ini. Amniosintesis yang dilakukan pada
trimester II tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya ELBW
(Extremely Low Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very Low Birth
Weight, Less Than 1500 gr).
Secara
teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan jarum
menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari amnion tersebut
dilakukan pemeriksaan sesuai dengan
tujuannya. (Bayu Irianti, 2014: 231-232)
B. Amniosintesis
Dini ( Trimester Pertama)
Amniosintesis
disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu. Tekniknya sama dengan
teknik amniosentesis
tradisional, meskipun tidak adanya fusi membran ke dinding uterus menyebabkan fungsi
kantong amnion menjadi lebih sulit, lebih sedikit cairan yang didapat
dikeluarkan (biasanya 1ml untuk setiap minggu gestasi). Karena sebab-sebab yang
belum sepenuhnya dipahami, amniosintesis dini menimbulkan angka kematian janin
dalam angka penyulit yang secara bermakna lebih tinggi dari amniosintesis
biasa. Pada sebuah uji coba acak multisentra baru-baru ini, angka abortus
spontan setelah amniosintesis dini adalah 2,5 persen dibandingkan dengan 0,7
persen pada amniosintesis trimester kedua. Komplikasi lainnya adalah clubfoot
(tapiles) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4 persen setelah amniosintesis
tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi menawarkan amniosintesis
sebelum 15 minggu. (Kenneth J Leven 2013
Hal: 96)
C.
Amniosintesis Trimester
Kedua
Amnionsintesis
adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis pranatal dan biasanya
dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound digunakan sebagai
penuntun untuk memasukan jarum spinal ukuran 20 atau 22 kedalam kantong amnion,
sembari menghindari plasenta, tal pusat dan janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml
cairan dibuang untuk mengurangi kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu,
kemudian diambil sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan.
Tempat pungsi diamati apakah ada perdarahan, dan pasien diperlihakan denyut
jantung janinnya. Angka kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5 persen
atau kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup kebocoran
air ketuban dan bercak perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara pada 1
hingga 2 prsen dan korioaminionitis pada kurang dari per 1000 wanita diperiksa. Cedera akibat
jarum pada janin jarang terjadi. (Kenneth
J Leven, 2013 Hal: 96)
D. Tujuan
Dilakukannya Amniosentesis
Tujuan
dilakukannya amniosentesis yaitu:
1. Menetukan
maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat
lipid dan analisis surfaktan.
a. Pada
kehamilan lebih dari 37 minggu, bilirubin dalam air ketuban sudah lenyap
kecuali terdapat penyakit hemolitik.
b. Konsentrasi
kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl.
c. Jumlah
sel-sel yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan nile blue sulfate)
lebih dari atau sama dengan 15%.
2. Monitoring
penyakit hemolitik.
3. Determinasi
seks.
4. Diagnosis
kelainan genetik. (Yeni kusmiyati, 2009:43)
E.
Pemeriksaan
Amniosintesis
Adapun
pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai berikut:
a. Dilakukan
kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi pertumbuhannya
(biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan penilaian terhadap sel
tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka amniosintesis ini gagal. Tingkat
keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500. Tingginya resiko kegagalan ini,
maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat perlu dilakukan Informed Consent
yang telah didahului dengan penjelasan yang jelas.
b. Diagnosis
neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk diagnosis ini sudah
banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang minim intervensi,
yaitu melalui USG.
c. Menilai
maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin.
d. Tindakan
amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil yang cepat.
e. Dalam
Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic Villus
Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down Syndrome dan
kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel janin yang berasal
dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua pemeriksaan ini untuk
mendiagnosa Down Syndrome lebih dari 99%. Mekanisme pemeriksaannya adalah sel
yang diperoleh dari kedua metode tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis
terhadap ukuran kromosom dan model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari
kromosom 21 pada kariotip dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down
Syndrome (kelainan genetik yang paling sering terjadi) (Bayu Irianti, 2014,
Hal; 232-233)
F.
Hasil Tes Amniosentesis
Setelah
proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan ketuban yang
diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium. Kebanyakan
hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa janin atau
bayi dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan kesehatan.
Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis menghasilkan nilai positif, itu berarti janin atau bayi
mungkin memiliki kelainan dan gangguan ksehatan sehingga harus mendapat
penanganan lebih serius. (Summase, 2014)
G. Resiko
Amniosentesis
1. Keguguran
Ada
kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan menjalani
amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit risiko
keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu. Untuk
menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang berkompetensi
dan berpengalaman.
Tidak
bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis
mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan,
atau kerusakan membrana amniotik yang disebabkan oleh prosedur.
Jika
keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca amniosentesis.
Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu sesudahnya. Keguguran
yang terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu pasca amniosentesis.
2. Infeksi
Infeksi
bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu hamil
yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan amniotik.
Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:
a. Perlukaan
pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur, sehingga kuman yang
biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.
b. Kuman
yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam rongga perut atau
rahim.
c. Kuman
yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga perut.
Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada
perut, konstraksi rahim. Namun, infeksi biasanya tidak terjadi jika prosedur
untuk mencegah infeksi dilakukan dengan benar.
3. Cedera
pada janin
Terdapat
juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan melakukan
amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama amniosentesis
telah menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini sangat jarang. Cedera
pada plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya tidak menyebabkan masalah
apapun dan sembuh dengan sendirinya.
4. Berkembangnya
penyakit rhesus pada bayi
Jika
golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus
positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap
sel-sel darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan
bayi akan mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus
negatif, maka Anda akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D
setelah amniosentesis guna mencegah hal ini. (I Putu Cahya Legawa 2015)
5.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa amniosentesis dapat dikatakan
sebagai sebuah prosedur kandungan dimana sejumlah cairan ketuban diaspirasi
dari dalam kantong amnion untuk keperluan analisa.
Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu
1. Menetukan
maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat
lipid dan analisis surfaktan.
2. Monitoring
penyakit hemolitik.
3. Determinasi
seks.
4. Diagnosis
kelainan genetik.
Amniosentesis
biasanya dilakukan setelah minggu ke 15 kehamilan, sebab pada usia kehamilan
tersebut kedua lapisan membran janin (fetal membranes) telah menyatu sempurna
sehingga sampel cairan ketuban dapat dengan aman ditarik. Jarang, amniosentesis
dapat dilakukan pada minggu ke-11 kehamilan.
Resiko
amniosentesis termasuk trauma terhadap janin, plasenta, infeksi,keguguran atau
kelahiran premature. Meskipun resikonya relative kecil, masih terdapat resiko
yang berkaitan dengan prosedur tindakan. Kematian janin akibat komplikasi
diperkirakan sekitar 0,3 sampai 3%.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi
semuanya.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Irianti, Bayu, Dkk. 2014. Asuhan
Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta: CV Sagung Seto.
Kusmiyanti, Yuni, dkk. 2009. Perawatan
Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitra Maya.
Leven,
Kenneth J, dkk. 2013. Obstetri William. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
http://dokter.legawa.com/?p=290 (dr. I Putu Cahya Legawa) (diakses pada tgl
16 Februari 2016 pukul 16:25 WIB)
http://www.infosehatkeluarga.com/amniosentesis-diagnosa-kelainan-dan-gangguan-kesehatan-janin-dalam-kandungan/
((Summase, S.pd) (Diakses pada tanggal 16 Februari 2016 pukul 16:40 WIB)
semoga dapat bermanfaat
BalasHapus