Jumat, 15 April 2016

Makalah Amniosintesis

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Banyak kasus bayi kembar siam, bayi dengan usus terburai atau tanpa tempurung kepala merupakan kasus kelainan bayi akibat tidak sempurnanya pembentukan organ sewaktu janin masih dalam kandungan ibu. Faktornya sangat kompleks mulai dari kekurangan gizi, kelainan genetik, faktor dari ibu maupun janin itu sendiri. Namun kelainan-kelainan pada bayi biasanya terlambat untuk diketahui. Bahkan meski sudah dilakukan pemeriksaan USG secara rutin, kelainan yang dialami janin masih saja ada yang tidak terdeteksi. Kini sudah ada teknologi untuk mengetahui kelainan bayi sejak dini bahkan ketika organ bayi belum terbentuk. Nama teknologi tersebut adalah  pemeriksaan prenatal diagnosis terintegrasi dimana nama pemeriksaannya di sebut Amniocentesis atau pemeriksaan air ketuban untuk mengetahui kelainan kromosom pada  janin. Pemeriksaan tersebut bisa dilakukan pada umur kandungan 12-14 minggu dimana  pada waktu ini organ bayi bahkan belum terbentuk. Dengan pemeriksaan air ketuban ini,  para ibu bisa mengetahui lebih awal apakah janinnya mengalami kelainan atau tidak.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan amniosentesis?
2.      Bagaimana amniosintesis dini?
3.      Bagaimana amniosintesis kedua?
4.      Apakah tujuan dari melakukan amniosentesis?
5.      Bagaimana prosedur melakukan anmiosentesis?
6.      Bagaimana hasil test amniosintesis?
7.      Apa sajakah resiko dari amniosentesis?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian amniosentesis.
2.      Memahami pengertian dari amniosintesis dini.
3.      Mengerti pengertian dari amniosintesis kedua.
4.      Mengetahui tujuan dilakukannya amniosentesis.
5.      Mengetahui prosedur amniosentesis.
6.      Mengetahui hasil test amniosintesis.
7.      Mengetahui  resiko dari amniosentesis.



BAB II
PEMBAHASAN


A.     Pengertian Amniosintesis
Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Di US biasa dilakukan amniosintesis dini, yaitu pada usia kehamilan 10-14 minggu. Namun, karena potensial tinggi untuk menjadi PROM (Prematur Ruptur Of Membran), infeksi dan pendarahan, sehingga amniosintesis jarang dilakukan pada usia ini. Amniosintesis yang dilakukan pada trimester II tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya ELBW (Extremely Low Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very Low Birth Weight, Less Than 1500 gr).
Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari amnion tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan  tujuannya. (Bayu Irianti, 2014: 231-232)

B.     Amniosintesis Dini ( Trimester Pertama)
Amniosintesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu. Tekniknya sama dengan teknik            amniosentesis tradisional, meskipun tidak adanya fusi membran ke dinding uterus menyebabkan fungsi kantong amnion menjadi lebih sulit, lebih sedikit cairan yang didapat dikeluarkan (biasanya 1ml untuk setiap minggu gestasi). Karena sebab-sebab yang belum sepenuhnya dipahami, amniosintesis dini menimbulkan angka kematian janin dalam angka penyulit yang secara bermakna lebih tinggi dari amniosintesis biasa. Pada sebuah uji coba acak multisentra baru-baru ini, angka abortus spontan setelah amniosintesis dini adalah 2,5 persen dibandingkan dengan 0,7 persen pada amniosintesis trimester kedua. Komplikasi lainnya adalah clubfoot (tapiles) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4 persen setelah amniosintesis tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi menawarkan amniosintesis sebelum 15 minggu. (Kenneth J Leven 2013 Hal: 96)




C.     Amniosintesis Trimester Kedua
Amnionsintesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis pranatal dan biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound digunakan sebagai penuntun untuk memasukan jarum spinal ukuran 20 atau 22 kedalam kantong amnion, sembari menghindari plasenta, tal pusat dan janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml cairan dibuang untuk mengurangi kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu, kemudian diambil sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan. Tempat pungsi diamati apakah ada perdarahan, dan pasien diperlihakan denyut jantung janinnya. Angka kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5 persen atau kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup kebocoran air ketuban dan bercak perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara pada 1 hingga 2 prsen dan korioaminionitis pada kurang dari  per 1000 wanita diperiksa. Cedera akibat jarum pada janin jarang terjadi. (Kenneth J Leven, 2013 Hal: 96)

D.     Tujuan Dilakukannya Amniosentesis
Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu:
1.      Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat lipid dan analisis surfaktan.
a.       Pada kehamilan lebih dari 37 minggu, bilirubin dalam air ketuban sudah lenyap kecuali terdapat penyakit hemolitik.
b.      Konsentrasi kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl.
c.       Jumlah sel-sel yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan nile blue sulfate) lebih dari atau sama dengan 15%.
2.      Monitoring penyakit hemolitik.
3.      Determinasi seks.
4.      Diagnosis kelainan genetik. (Yeni kusmiyati, 2009:43)




E.      Pemeriksaan Amniosintesis
Adapun pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai berikut:
a.       Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan penilaian terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka amniosintesis ini gagal. Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500. Tingginya resiko kegagalan ini, maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat perlu dilakukan Informed Consent yang telah didahului dengan penjelasan yang jelas.
b.      Diagnosis neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk diagnosis ini sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang minim intervensi, yaitu melalui USG.
c.       Menilai maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin.
d.      Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil yang cepat.
e.       Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic Villus Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down Syndrome dan kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel janin yang berasal dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua pemeriksaan ini untuk mendiagnosa Down Syndrome lebih dari 99%. Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang diperoleh dari kedua metode tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap ukuran kromosom dan model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21 pada kariotip dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome (kelainan genetik yang paling sering terjadi) (Bayu Irianti, 2014, Hal; 232-233)

F.      Hasil Tes Amniosentesis
Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan ketuban yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium. Kebanyakan hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa janin atau bayi dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan kesehatan. Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis menghasilkan  nilai positif, itu berarti janin atau bayi mungkin memiliki kelainan dan gangguan ksehatan sehingga harus mendapat penanganan lebih serius. (Summase, 2014)


G.     Resiko Amniosentesis
1.      Keguguran
Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit risiko keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu. Untuk menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang berkompetensi dan berpengalaman.
Tidak bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan, atau kerusakan membrana amniotik yang disebabkan oleh prosedur.
Jika keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca amniosentesis. Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu sesudahnya. Keguguran yang terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu pasca amniosentesis.
2.      Infeksi
Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu hamil yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan amniotik. Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:
a.       Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur, sehingga kuman yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.
b.      Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam rongga perut atau rahim.
c.       Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga perut.
Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun, infeksi biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi dilakukan dengan benar.
3.      Cedera pada janin
Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan melakukan amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama amniosentesis telah menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini sangat jarang. Cedera pada plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya tidak menyebabkan masalah apapun dan sembuh dengan sendirinya.
4.      Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi
Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap sel-sel darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan bayi akan mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus negatif, maka Anda akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D setelah amniosentesis guna mencegah hal ini. (I Putu Cahya Legawa 2015)


5.       
BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa amniosentesis dapat dikatakan sebagai sebuah prosedur kandungan dimana sejumlah cairan ketuban diaspirasi dari dalam kantong amnion untuk keperluan analisa.
Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu
1.      Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat lipid dan analisis surfaktan.
2.      Monitoring penyakit hemolitik.
3.      Determinasi seks.
4.      Diagnosis kelainan genetik.
Amniosentesis biasanya dilakukan setelah minggu ke 15 kehamilan, sebab pada usia kehamilan tersebut kedua lapisan membran janin (fetal membranes) telah menyatu sempurna sehingga sampel cairan ketuban dapat dengan aman ditarik. Jarang, amniosentesis dapat dilakukan pada minggu ke-11 kehamilan.
Resiko amniosentesis termasuk trauma terhadap janin, plasenta, infeksi,keguguran atau kelahiran premature. Meskipun resikonya relative kecil, masih terdapat resiko yang berkaitan dengan prosedur tindakan. Kematian janin akibat komplikasi diperkirakan sekitar 0,3 sampai 3%.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini bermanfaat bagi semuanya.


C.      
DAFTAR PUSTAKA


Irianti, Bayu, Dkk. 2014. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta: CV Sagung Seto.
Kusmiyanti, Yuni, dkk. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitra Maya.
Leven,  Kenneth J, dkk. 2013. Obstetri William. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
http://dokter.legawa.com/?p=290  (dr. I Putu Cahya Legawa) (diakses pada tgl 16 Februari 2016 pukul 16:25 WIB)
http://www.infosehatkeluarga.com/amniosentesis-diagnosa-kelainan-dan-gangguan-kesehatan-janin-dalam-kandungan/ ((Summase, S.pd) (Diakses pada tanggal 16 Februari 2016 pukul 16:40 WIB)


1 komentar: